Sutiaji Akui Kesulitan Antisipasi Terjadinya Banjir di Bareng, Ini Kata Pembina Lingkungan Nasional
Minggu, 14 November 2021
Malangpariwara.com –
Luberan air di saluran sungai Metro membuat warga Rt.01, Rw.07 Kelurahan Bareng Kecamatan Klojen Kota Malang, yang berada di sekitar sungai tersebut selalu was-was.
Pasalnya, setiap hujan turun, sungai tersebut selalu meluber dan banjir sekitar satu meter, meski warga sekitar sungai tersebut sudah dibangun penghalang air (Decker).
“Banyaknya banjir itu sebenarnya bukan karena sampah, tapi juga pasir yang membentuk sedimen, yang mengakibatkan pendangkalan dan tersumbatnya drainase,” ucap Wali Kota Malang, Sutiaji, saat ditemui awak media di area Rt.01, Rw.07 Kelurahan Bareng Kecamatan Klojen, Ahad (14/11/21).
Pria nomor satu di Kota Malang ini menjelaskan, dengan program Gerakan Angkut Sampah dan Sedimen (GASS) ini diharapkan dapat tumbuh dari dari masyarakat langsung, walau ada beberapa wilayah yang menjadi langganan banjir jika hujan turun.
“Untuk wilayah Rt.01, Rw.07 Kelurahan Bareng Kecamatan Klojen ini memang menjadi langganan banjir jika hujan turun,” jelasnya.

Menurut Sutiaji, untuk mengantisipasi terjadinya banjir di wilayah tersebut, dirinya mengaku kesulitan, karena volume air sungai dari hulu sungai di daerah Bareng itu lebih besar.
“Untuk mengantisipasi banjir di sini itu agak susah. Sehingga harapannya bisa mengurangi volume air itu bagaimana,” terangnya.
Untuk itu, lanjut Sutiaji, dirinya telah menampung keinginan warga untuk membangun saluran yang digunakan untuk mengalihkan sebagian atau seluruh aliran air banjir (Sudetan), sebenarnya sudah dianggarkan. Namun pembangunannya tidak terealisasi karena refocusing anggaran dari Covid-19.
“Seharusnya di sini disudet dengan dana Rp 20 miliar, tapi karena refocusing tidak jadi, insyallah nanti ke depan. Sudetan itu bisa dari klaseman, Tidar, Galunggung terus di sini rembetan airnya bisa berkurang,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua RT 01 Edi Sugiarto menyebut, banjir itu disebabkan bukan karena warga buang sampah sembarangan di aliran sungai metro ini, karena warga sudah sadar.
“Warga di sini sudah sadar, karena kalau hujan selalu ada banjir, bahkan warga juga membuat penghalang air banjir di setiap rumah mereka. Kalau hujan warga ya otomatis memindahkan sepeda motornya ke atas rumah,” katanya, saat ditemui awak media.
Edi menyebut, banjir di daerahnya itu disebabkan oleh aliran air dari sungai yang bertempat di atas daerahnya. Selain itu, lebar dari sungai setelah daerahnya memiliki lebar yang lebih kecil.
“Di sini sekarang selalu banjir karena air di atas volumenya selalu tinggi, makannya air di sini gede. Terus di ujung sungai ini kecil jadi dampaknya ke sini,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta ke Pemerintah Kota Malang untuk membuatkan sudetan di atas sungai di daerahnya.
“Makannya ke depannya kalau bisa di atas itu harus dibuatkan sudetan kemana gitu supaya airnya tidak ke sini,” pungkasnya.
Ditempat yang sama, Malangpariwara berhasil menemui Ir. Bambang Irianto Pembina Lingkungan Tingkat Nasional yang saat itu juga ikut hadir di lapangan Halilintar Bareng Raya 2N diacara kerjabakti “GASS”

Dikatakan Bambang Ir,
Banjir datang lagi, diskusi banjir marak lagi, langkah yang diambil sama lagi. Cuman berkutat pada normalisasi saluran, tanpa diimbangi aspek naturalisasi yang memadai, maka jangan marah kalau banjir istiqomah datang lagi.
Causa primanya adalah ” global warming tata ruang tidak adaptif lagi, sehingga dunia sudah masuk tahap ” darurat iklim,” ujar Pembina Lingkungan Nasional Ir. Bambang Irianto.
Maka Program Kampung Iklim, bisa menjadi salah satu upaya, tapi harus kualitatif, tidak boleh sekedar kuantitatif. Cuman berlomba meraih sertipikat dan thropy. Andai jumlah Proklim tercapai 20 rb pada 2025, tapi bencana hidrometeorologi semakin menjadi-jadi, mau bicara apa lagi? Sebuah renungan untuk saling mawas diri.
Bambang Irianto setuju dan sepakat sekali ada beberapa hal masukan untuk Dinas terkait utamanya pemangku kebijakan.
Menurut Bambang Irianto, apa yang akan dilakukan Pemkot sangat penting untuk mempercepat laju ” run off ” atau air permukaan untuk menghindari genangan.
Kemudian Gerakan Menabung Air yang berbasis partisipatif mutlak harus dilakukan. Misalnya pembuatan biopori ( standart, jumbo, super jumbo) harus dilakukan swadaya masyarakat. Adapun sumur resapan harus dilakukan pemerintah kota.
“Jangan seperti sekarang, biopori dianggarkan dalam APBD, maka masyarakat akan menunggu bantuan terus,” sebut manager Glintung Go Green ini.

Apa yang dilakukan pemkot masih berkutat pada NORMALISASI saluran irigasi saja, misalnya ambil sampah di sungai, membuat sudetan, membersihkan gorong gorong. Langkah ini perlu, penting tapi ingat, sudah 5 th masih berkutat soal ini saja.
Ingat ” CLIMATE CHANGE ” atau PERUBAHAN IKLIM, sering terjadi hujan tidak terlalu lama, tapi intensitas hujan sangat tinggi, maka sebaik apapun langkah normalisasi pasti tidak ada hasilnya. Pengalaman 5 tahun apa tidak cukup untuk kita merubah strategi menghadapi banjir,” tukasnya.
Beberapa lokasi banjir sebenarnya bukan genangan, tapi laju run off yang cepat dengan debit sangat tinggi dalam kurun waktu beberapa jam. Seperti di Jl. Letjen. Sutoyo, Letjen S Parman dll. Nah pada lokasi seperti ini upaya memperbaiki drainase atau saluran irigasi tidak akan berdampak signifikan dalam mengurangi banjir
Yang harus dilakukan Pemkot Malang melalui dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPUPRPKP), diantaranya ” Lakukan NATURALISASI saluran air dengan cara penghijauan pada lokasi lokasi yang memungkinkan dan percepat Tata Ruang dan Tata Wilayah ( RTRW), jangan sampai ruang terbuka menjadi ruang terbangun. Sesuaikan dengan peruntukannya.
Oleh karena itu saya mengusulkan beberapa point antara lain :
Kawasan industri, perdagangan, perkantoran, real estate, rumah sakit, pendidikan, “Wajibkan, sekali lagi wajibkan membuat sumur resapan. Mereka mampu pendanaannya, SDM nya, tapi kenapa tidak dipaksakan? Jangan hanya pemkot dan masyarakat yang bingung mengatasi banjir.
Regulasinya sudah ada atau perlu direvisi, tapi dalam hal ini PENEGAKAN HUKUM sangat lemah. Terakhir ” Quo vadis ” kota Malang, mau dibawa kemana kota Malang dalam menghadapi banjir? Para akademisi sudah banyak memberi usul dan saran. Rakyat teriak dan demo sudah rutin, tapi langkah Pemkota tidak ada yang revolusioner dalam mengurangi dampak banjir. Demikian pendapat saya untuk kesekian kalinya pada Pemkot dan masyarakat kota Malang.
Pria yang juga sebagai manajer 3G ini juga menyarankan agar Pemkot Malang melakukan koordinasi yang serius dan terus menerus dengan pemkab Malang dan pemkot Batu untuk mengatasi bencana HIDRO METEOROLOGI sampai pada langkah langkah bersama yang kongkrit. Jangan hanya pertemuan pada saat banjir, kemudian tidak ada tindak lanjut.
Kota Malang sudah mendesak membutuhkan ” EMBUNG ” sebagai langkah water management untuk mengelola laju run off. Embung embung buatan Belanda sudah tidak ada lagi di kota Malang, antara lain Gedung KNPI, Gedung Pulosari, Taman Indrokilo di belakang musium dll. Ini tragis, maka jangan kaget dan jangan bingung kalau kota Malang sudah masuk pada tahap darurat banjir. Oleh karen itu perlu dipikirkan membuat embung di berbagai titik. Lihat saja kota Jogja, Bekasi, kota Tangerang, Tangerang Selatan, Palembang sudah banyak membangun embung. Di kota Malang ???

Lakukan sosialisasi secara massif pada semua RW di kota Malang tentang konservasi air sebagai langkah awal mengurangi dampak banjir. Program yang seperti ini pemkot kurang serius, padahal tiap tahun selama 5 thn saya selalu mengusulkan ini dan sama dengan pendapat Prof. Dr. Ir. Muh. Bisri, sebagai pencetus Gerakan Menabung Air.(Djoko Winahyu)