Sah, Ranperda Diputuskan Pelaku Usaha Mamin Beromzet di Atas Rp 15 Juta Dikenakan Pajak

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang telah mengesahkan rancangan peraturan daerah (Perda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).(Djoko W)
Kamis, 12 Juni 2025
Malangpariwara.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang telah mengesahkan rancangan peraturan daerah (Perda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Salah satu hal krusial yang akhirnya disahkan adalah ambang batas pengenaan pajak bagi pelaku usaha makan dan minum (mamin).
Dalam Ranperda PDRD tersebut, pengenaan pajak akhirnya bakal diberlakukan bagi pelaku usaha mamin yang beromzet di atas Rp 15 juta. Angka tersebut naik dari yang sebelumnya hanya sebesar Rp 5 juta.
Proses pengesahan Ranperda yang dibahas dalam rapat paripurna pada Kamis (12/6/2025) sempat berlangsung alot. Hal tersebut lantaran sempat ada ketidaksepahaman dari Fraksi PKB DPRD Kota Malang atas ambang batas yang disepakati. Bahkan, rapat paripurna yang berlangsung sejak pagi sempat deadlock dan harus diskors selama 15 menit.
“Itu kan bagian dari dinamika kami. Karena di sini ada 7 fraksi, dengan suara yang pastinya ada pertimbangan masing-masing. Tapi yang jelas tadi kami menyikapi bersama, yang akan kami upayakan adalah mengawal setelah nanti Perda ini diundangkan,” ujar Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, Kamis (12/6/2025).
Namun pada prinsipnya, wanita cantik yang akrab disapa Mia ini menegaskan bahwa apa yang telah disampaikan oleh para anggota dewan melalui jajaran fraksi tetap akan menjadi perhatian. Pun jika pendapat tersebut menjadi catatan.
“Yang tadi disampaikan oleh teman-teman tentu saja itu tidak akan meninggalkan rekomendasi kami ke depannya. Jadi itu menjadi catatan penting juga,” terang Mia.
Namun secara umum, dirinya menegaskan bahwa melalui ranperda tersebut pihaknya berusaha melindungi pelaku usaha atas pengenaan pajak dengan melihat pembatasan omzet. Hal itu pun menurutnya juga telah digodog bersama Pansus Ranperda PDRD DPRD Kota Malang.
“Sebelumnya kan memang ditetapkannya adalah omzet Rp 5 juta maka pelaku usaha makanan dan minuman wajib membayar pajak. Kemudian dalam pembahasannya kami naikkan menjadi Rp 15 juta, dan memang ada yang berpendapat dari PKB dan PDIP itu Rp 25 juta,” tutur Mia.
Namun dirinya menegaskan bahwa pembahasan Ranperda tersebut telah bermuara pada musyawarah yang mufakat. Dengan mempertimbangkan berbagai hal, hingga bersepakat untuk menetapkan kenaikan ambang batas menjadi Rp 15 juta.
“Yang namanya kita membuat Perda itu kan memang membutuhkan sebuah evaluasi. Kalau kemudian sudah didok, pelaksanaannya ya harus kita evaluasi, kita kawal, termasuk Perwalnya,” kata politisi PDI Perjuangan ini.
Memang dalam rapat paripurna hari ini terlihat dinamika yang tidak seperti biasanya didalam pengambilan keputusan Perda karena adanya interupsi dari Arief Wahyudi anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Harvard Kurniawan dari Fraksi PDI perjuangan .
Bahkan Arief Wahyudi secara tegas akan melakukan walk out dan tidak bertanggungjawab atas Perda PDRD ketika pimpinan sidang akan meminta persetujuan bersama.
“Saya tadi berbicara, meminta perubahan di Pasal 8 ayat 2 terkait dengan batas minimal yang dikenakan pada usaha makan minum atau kuliner,” kata Arief Wahyudi.
Hal tersebut disampaikan secara tegas karena adanya pendapat dari FPKB yang meminta adanya peninjauan atas ambang batas omset usaha kuliner yang bisa di titipi Pajak atas Barang dan Jasa tertentu tersebut , dimana pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Fraksi lainnya.
Bahkan Harvard dalam interupsinya juga langsung menyampaikan dengan mengutip ajaran Soekarno “jangan membebani rakyat dengan pajak “, dan menyampaikan kalau paripurna ini dilakukan voting maka kuorum harus terpenuhi dan harus dihitung kehadiran secara fisik .
Arief Wahyudi (AW )ketika ditemui Wartawan usai sidang menyampaikan, sengaja saya melakukan interupsi untuk memperjuangkan nasib sebagian besar usaha kuliner Masyarakat kebanyakan atau Masyarakat golongan menengah kebawah jangan sampai diribetkan dengan urusan pajak.
“Kalau memang Walikota benar benar serius dalam membela UMKM yang bergerak di bidang kuliner, mengapa tidak dimasukkan secara tegas didalam Perda keberpihakan tersebut, bahkan tidak ada satu pun klausul yang menyebut tentang PKL, tentang yang berjualan di tenda bongkar pasang akan dibebaskan atas PBJT makan dan minum ini,” tukas AW.
Yang ada dan secara tegas disebut adalah restaurant yang didefinisikan ada meja kursi dan peralatan makan minum dan peredaran usaha atau omset senilai lima belas juta per bulan.
“Kalau kondisinya seperti ini dan ketika Pemerintah hanya mengejar PAD, maka bisa saja pemerintah secara agresif mendata dan meminta UMKM kuliner menjadi subyek dan obyek pajak dengan memakai senjata Perda ini,” tegasnya (Djoko W). (ADV)