27 September 2025

Agribisnis di Persimpangan Jalan, Suara Mahasiswa Menyongsong Dampak Tarif Amerika Serikat

Agribisnis di Persimpangan Jalan, Suara Mahasiswa Menyongsong Dampak Tarif Amerika Serikat

Dhealova Cindy Winarto, mahasiswa Agribisnis Peternakan di Politeknik Pembangunan Pertanian Malang (POLBANGTAN MALANG).(Djoko W)

Selasa, 5 Agustus 2025

Malangpariwara.com – Dunia agribisnis Indonesia tengah berada di ambang ujian besar, terutama bagi sektor peternakan yang kini harus bersiap menghadapi dampak kebijakan perdagangan dari Amerika Serikat.

Hal ini mengemuka dalam pandangan kritis Dhealova Cindy Winarto, mahasiswa Agribisnis Peternakan di Politeknik Pembangunan Pertanian Malang (POLBANGTAN MALANG), yang menyuarakan keresahan sekaligus harapan generasi muda agribisnis terhadap situasi ini.

Dalam narasinya, Dhealova mengungkapkan keprihatinan atas dua kebijakan Amerika Serikat yang berpotensi menekan sektor agribisnis nasional: tarif ekspor sebesar 19% terhadap produk peternakan Indonesia dan kewajiban membeli produk pertanian dari AS senilai 4,5 miliar dolar AS.

“Sebagai mahasiswa Agribisnis Peternakan, saya sering membayangkan masa depan cerah sektor ini di Indonesia. Namun bayangan itu terusik oleh kabar ini. Tarif sebesar itu bisa membuat produk kita tidak kompetitif, ekspor macet, dan peternak lokal jadi korban,” ungkapnya.

Dhealova menekankan bahwa tarif ekspor yang tinggi bisa memicu efek domino. Harga produk unggulan seperti ayam atau telur bisa melonjak di pasar global, namun justru menumpuk di dalam negeri karena tidak terserap. Akibatnya, harga di tingkat peternak anjlok, memicu potensi kerugian besar.

“Kita belajar soal efisiensi dan rantai pasok. Tapi bagaimana semua itu bisa berjalan jika hambatan eksternal sebesar ini menghadang?” tanyanya retoris.

Di sisi lain, masuknya produk pertanian impor dari Amerika berpotensi membanjiri pasar domestik. Jika harganya lebih murah, maka petani dan peternak lokal akan semakin tertekan secara ekonomi. Situasi ini dinilai berbahaya karena menggerus kedaulatan pangan nasional dan menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada yang selama ini digaungkan.

Menurut Dhealova, ini bukan sekadar soal harga dan pasar. Lebih jauh lagi, ini adalah isu strategis yang menyangkut ketahanan pangan dan masa depan generasi muda agribisnis.

“Jika kita terus bergantung pada impor, bagaimana kita bisa memastikan ketahanan pangan ke depan? Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keberlangsungan bangsa.”

Dalam sikap kritis namun solutif, Dhealova menyarankan sejumlah langkah konkret yang bisa diambil pelaku agribisnis dan pemerintah:

Memperkuat rantai pasok lokal antara peternak, pengolah, dan distributor.

Diversifikasi produk ternak, tidak hanya fokus pada bahan mentah, tapi juga pada produk olahan bernilai tambah.

Menganalisis pasar alternatif di luar negara-negara dengan hambatan tarif tinggi.

Mendorong inovasi dan kolaborasi antarpelaku industri untuk meningkatkan daya saing.

Pemerintah, lanjutnya, juga perlu meninjau ulang kesepakatan perdagangan dan menerapkan strategi mitigasi yang efektif agar tidak merugikan sektor peternakan.

Sebagai bagian dari generasi penerus bangsa yang akan terjun langsung ke sektor ini, Dhealova berharap agar suara mahasiswa tidak diabaikan. Ia menekankan bahwa keberpihakan terhadap petani dan peternak lokal harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan.

“Jika kebijakan perdagangan terus mengabaikan sektor vital ini, bukan tidak mungkin minat kami untuk berkarya di dunia agribisnis akan luntur. Kami butuh kepastian dan perlindungan, bukan kerugian yang tak berujung.”

Pandangan Dhealova menjadi pengingat penting bahwa isu global seperti tarif dan perdagangan bukan sekadar angka dan data di atas kertas. Ia menyentuh langsung kehidupan petani dan peternak, serta menentukan arah masa depan pangan nasional.(dhlv)


dhealovacindywinarto@gmail.comdhealovacindywinarto@gmail.com

Suara mahasiswa seperti Dhealova menjadi oase di tengah riuhnya dinamika kebijakan global. Kritiknya tidak hanya menunjukkan kepedulian, tetapi juga menjadi cerminan harapan dan semangat generasi muda untuk memperjuangkan sektor agribisnis Indonesia agar tetap mandiri, berdaya saing, dan berdaulat.(*)