11 September 2025

Tak Bisa Pakai BPJS Warga Kota Malang Divonis Tumor Otak Meninggal Korban Regulasi

img_1757519491627

Foto Ilustrasi pasien rawat inap di RS .(*)

Rabu, 10 September 2025

Malangpariwara.com – Ibu Stella, warga Kota Malang peserta BPJS kesehatan benar benar kecewa dan sedih harus kehilangan ibunya setelah divonis
mengidap Tumor Otak dan ironisnya kepesertaan BPJS tidak bisa dipakai untuk perawatan di rumah sakit.

Ibu Stella menjadi Korban regulasi BPJS Kesehatan. Padahal, iuran tiap bulan rutin disetor. Sebulan 150 ribu. Tapi masih habis puluhan juta untuk biaya di rumah sakit.

Seperti yang di muat di Media Online Tugumalang, Pilu itu bermula pada 1 Agustus 2025. Ibu Stella demam dan lemas sampai tak sadarkan diri hingga dilarikan ke RS Panti Waluya Sawahan (RKZ) Malang.

Di IGD, petugas medis menyampaikan tak ada tanda tanda gawat darurat sehingga BPJS Kesehatan tak bisa digunakan.

“Saya masih awam, gak ngerti gawat darurat menurut BPJS Kesehatan itu yang bagaimana,” kata Stella.

Lembaran kertas dari petugas medis disodorkan agar Stella melakukan tanda tangan. Melihat kondisi ibunya yang tak berdaya, Stella tanpa berpikir panjang lantas menandatangani persetujuan sebagai pasien umum, tanpa BPJS Kesehatan.

“Singkat kata dites darah, saturasi, tensi. Semua baik,” urainya.

Ia mengaku kecewa dengan rumah sakit itu. Ibunya hanya diberi obat penurun panas meski kondisinya tampak mengkhawatirkan, lemas dan tak ada respon di tubuh ibunya. Petugas IGD menyampaikan tak ada indikasi untuk diberikan infus ke pasien.

“Akhirnya kami minta diinfus. Suruh tanda tangan lagi. Minta one day care. Akhirnya diinfus selama 12 jam. Tapi gak dicari tau sebab lemasnya mama itu apa. Kami, keluarga yang harus inisiatif minta dicek dokter,” jelasnya kesal.

Singkat cerita, Stella minta ibunya diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam. Tindakan CT Scan dilakukan dan diketahui ada benjolan di otak. Tetapi itu benjolan apa belum tahu dan katanya perlu tindakan MRI. Biaya mandiri sejauh ini sudah sekitar Rp 10,5 juta untuk infus, CT Scan dan RMI.

Karena hanya one day care, esok subuh ibunya harus pulang. Namun ternyata, kondisinya masih lemas, tetapi sudah bisa merespon. Tak mau ambil resiko, keluarga Stella meminta untuk rawat inap. Lagi lagi atas inisiatif sendiri, bukan rekomendasi dokter rumah sakit.

“Saya cuma ngeri kalau misal nuruti rumah sakit terus, apa jadinya kondisi mama saat di rumah,” ujarnya.

Saat mengurus prosedur rawat inap, Stella diminta tanda tangan untuk surat penolakan pengunaan BPJS Kesehatan. Uniknya, petugas rumah sakit itu meminta Stella untuk merevisi kolom ‘Alasan minta rawat inap’ yang ia isi lantaran kondisi masih lemas.

“Sama admin disuruh ganti alasannya. Jangan gitu mbak, nanti BPJS bertanya tanya, malah jadi masalah. Karena ingin mama segera ditangani, saya iyain aja dan menggantinya sesuai yang admin mau,” ungkapnya.

Biaya keluar lagi untuk perawatan sebagai pasien umum. Dokter spesialis saraf turun tangan. Hasil tindakan MRI akhirnya muncul, ada tumor otak hingga membuat keluarga terkejut cemas.

Melihat ada yang serius, Stella mencoba meminta menggunakan manfaat BPJS Kesehatan untuk penanganan tumor otak itu. Namun pihak rumah sakit kembali menolak, tak bisa pakai BPJS Kesehatan.

“Intinya dokter rumah sakit cuma bilang, masuk sebagai pasien umum, sampai selesai ya harus (biaya) pasien umum,” bebernya.

Stella sempat mengkonfirmasi ke BPJS Kesehatan karena ibunya ini sudah lama menjadi peserta BPJS Kesehatan mandiri. Sebulan iuran Rp 150 ribu. Pihak BPJS Kesehatan meminta Stella pindah rumah sakit lain saja. Namun karena tak tega dengan kondisi ibunya yang semakin lemah, keluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatan di rumah sakit awal.

11 Agustus 2025, ibu Stella menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit itu. Keluarga harus merogoh saku dalam dalam untuk menutup biaya tagihan perawatan rumah sakit hingga Rp 35 juta. Namun ibunya telah tiada.

“Setelah semua selesai, saya merasa nelongso. Saya ini masih beruntung, masih bisa diberi kemampuan (biaya). Saya membayangkan, bagaimana dengan yang lain yang misalnya gak bisa bayar, gak punya inisiatif minta dokter cek segala macam, mau jadi apa pasiennya,” ucap Stella pilu.

Stella berharap, prosedur pemanfaatan BPJS Kesehatan dan layanan rumah sakit nantinya bisa benar benar memudahkan masyarakat dan pasien. Tak ada lagi akses BPJS Kesehatan yang dipersulit lantaran terbentur aturan. Setidaknya sekedar untuk masyarakat yang benar benar membutuhkan atau kurang mampu.

“Ini aja saya terus kepikiran. Nasibnya orang orang lain gimana kalau sistemnya gini terus,” tandasnya.

Kabarnya, ibu Stella bukan satu satunya warga Kota Malang yang kesulitan mengakses manfaat BPJS Kesehatan. Diketahui, keluhan soal regulasi pemanfaatan BPJS Kesehatan yang tak ramah bagi pasien di rumah sakit juga telah masuk di meja sidang paripurna DPRD Kota Malang.

Merespon keluhan yang ada, Kepala Bagian Mutu Layanan Kepesertaan BPJS Kesehatan Cabang Malang, Roy Winandra Putra menyampaikan bahwa pihaknya berkomitmen untuk terus memperbaiki pelayanan kepada masyarakat.

Menurutnya, keluhan peserta BPJS Kesehatan soal rumah sakit yang tak memberikan layanan kesehatan yang tak sesuai harapan juga masih bermunculan di Kota Malang.

“Terkait pelayanan di rumah sakit, selama ini memang ada yang diterima dengan baik. Tetapi ada yang tidak sesuai juga, nah kalau rumah sakit seperti itu kan orientasinya profit,” ucapnya.

Melihat kondisi ini, pihaknya dalam waktu dekat akan segera melakukan sidak ke rumah sakit rumah rumah sakit untuk memastikan pelayanan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan benar benar berjalan dengan baik.

“Kami rencananya akan sidak langsung ke rumah sakit terkait pelayanan di rumah sakit bagi peserta BPJS Kesehatan,” ucapnya.

Jika ditemukan bukti rumah sakit tak memberikan layanan kesehatan dengan baik sesuai aturan kepada pasien peserta BPJS Kesehatan, maka pihaknya akan melakukan tindakan.

Anggota DPRD Kota Malang Arief Wahyudi SH.(Djoko W)

Arief Wahyudi Anggota DPRD Kota Malang Fraksi PKB yang tak henti hentinya menerima keluhan masyarakat tentang BPJS Kesehatan yang tak lagi luwes, bahkan Ia (AW) semakin terkejut saat mendapat kabar ada warga Kota Malang yang meninggal akibat tumor otak namun tak bisa memakai BPJS Kesehatan karena dinilai bukan gawat darurat saat awal masuk rumah sakit. Namun perawatan intensif dilakukan saat pasien itu didaftarkan sebagai pasien umum atau mandiri tanpa BPJS Kesehatan.

“Itu kan juga jelas karena standar BPJS, ketika pasien masuk UGD dan diperiksa, lalu dinyatakan gak bahaya. Tetapi ketika tak memakai BPJS, ternyata pasien ini harus perawatan intenisf. Maka jelas standar BPJS ini harus dirubah,” tegasnya.

Ia juga menyoroti soal rendahnya wawasan masyarakat terkait standar standar yang diterapkan BPJS Kesehatan. Masyarakat tak banyak yang tau soal regulasi. Untuk itu, dia mendesak BPJS Kesehatan gencar melakukan sosialisasi dan penguatan literasi kepada masyarakat, terutama soal aturan pasien yang bisa menggunakan kartu BPJS Kesehatan.

“Masyarakat yang mandiri sudah rutin bayar BPJS Kesehatan. Lalu ABPD Kota Malang juga mengalokasikan Rp 150 milyar lebih lo untuk membayar BPJS Kesehatan bagi masyarakat kurang mampu,” ungkapnya.

Arif berkomitmen akan terus menyuarakan isu dan keluhan soal BPJS Kesehatan ini. Bahkan mendesak Wali Kota Malang agar memastikan standar di BPJS Kesehatan bagi pasien di rumah sakit benar benar bisa melayani dan memudahkan masyarakat dengan baik.

“Ini hak masyarakat lo. Rencananya, Komisi D DPRD Kota Malang akan hiring dan bahkan Wali Kota Malang juga menyatakan akan memanggil pihak BPJS Kesehatan,” ujarnya.

“Masyarakat itu kan bayar ya, tetapi saat melakukan pengobatan kenapa ditolak. Saya yakin rumah sakit itu juga memberikan pelayanan sesuai standar BPJS bagi pasien BPJS Kesehatan. Kalau tidak, klaimnya (biaya perawatan) pasti ditolak oleh BPJS,” sambungnya.

Sekali lagi, Arif meminta BPJS Kesehatan dan seluruh layanan kesehatan di Kota Malang benar benar bisa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan saat berurusan dengan keselamatan atau kesehatan masyarakat. Ia juga mengingatkan, BPJS Kesehatan bukan lembaga profit.

“BPJS itu bukan bisnis lo ya. Jangan sampai jadi bisnis, tetapi benar benar untuk pelayanan masyarakat. Kemanusiaan harus diutamakan,” tegasnya.(Djoko W)