Universitas Brawijaya (UB) Tambah Dua Profesor Baru dari FP dan FT
UB Kukuhkan Prof. Dr. Ir. Agus Suryanto, MS dan Prof. Ir. Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D., IPU
Rabu, 22 Juli 2020
Malangpariwara – Untuk kesekian kalinya Universitas Brawijaya Malang menambah Profesor.
Prof. Dr. Ir. Agus Suryanto, MS dari Fakultas Pertanian (FP) dan Prof. Ir. Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D., IPU dari Fakultas Teknik (FT). Dikukuhkan Rabu (22/7/20).
Prof. Dr. Ir. Agus Suryanto, MS yang dikukuhkan sebagai Profesor dalam Bidang Ilmu Ekologi Tanaman ini merupakan profesor aktif ke-43 dari FP, dan profesor aktif ke-186 di UB, serta profesor ke-263 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Prof. Ir. Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D., IPU yang dikukuhkan sebagai Profesor dalam Bidang Ilmu Rekayasa Sistem Daya dan Kecerdasan Buatan ini merupakan profesor aktif ke-15 dari FT, profesor aktif ke-187 di UB, dan menjadi profesor ke-264 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan UB.
Prof. Dr. Ir. Agus Suryanto, MS menyampaikan pidato ilmiahnya berjudul: “Strategi Peningkatan Efisiensi Konversi Energi Matahari pada Sistem Produksi Pertanian melalui Pengelolaan Pola Tanam”.
Dalam pidato pengukuhannya, Ia menjelaskan apakah pola tanam dalam budidaya pertanian yang diterapkan selama ini sudah tepat, efisien, dan produktif, dalam mengkonversi energi matahari menjadi biomas, khususnya pada tanaman pangan.
Indonesia sebagai negara agraris, kaya akan cahaya matahari. Produksi tanaman pertanian sudah semestinya tidak semata-mata mengandalkan input sarana produksi buatan seperti pupuk kimia, namun seharusnya lebih memanfaatkan cahaya matahari yang berlimpah.
“Produktivitas tanaman pertanian sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis. Hanya saja konversi energi matahari menjadi energi kimia, efisiensinya sangat rendah, yaitu hanya sekitar 2%. Nilai Efisiensi Konversi Energi (EKE) yang rendah ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain pemantulan dan penerusan energi matahari yang jatuh pada tajuk tanaman, penggunaan sebagian energi matahari untuk transpirasi dan pembongkaran kembali hasil fotosintesis dalam proses respirasi, dan disebabkan pula oleh sistem budidaya tanaman yang kurang tepat sehingga mengakibatkan energi matahari tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal,” ungkap pria yang lahir di Malang, 18 Agustus 1955.
Dikatakan Agus, Chandrasekaran et al., (2010) menyebutkan, sistem budidaya yang kurang tepat antara lain, penggunaan jarak tanam yang terlalu lebar atau terlalu sempit, saat tanam tanpa memperhatikan fase pertumbuhan yang peka terhadap intensitas radiasi matahari dan penggunaan varietas yang tidak respon dengan intensitas radiasi matahari.
Hasil penelitian Agus Suryanto menunjukkan, perbaikan lingkungan tanaman dengan penataan pola tanam, dalam hal ini mengatur waktu tanam, pemilihan varietas berdaun tegak (errect) dan tata letak tanaman dalam baris ganda pada tanaman padi, pemberian mulsa dan penggunaan tata letak baris ganda pada tanaman jagung, penambahan populasi dan penanaman secara tumpangsari pada tanaman kentang, mampu meningkatkan EKE antara 1-3% tergantung perlakuan dan jenis tanaman.
“Peningkatan EKE ini diikuti pula dengan peningkatan produksi tanaman hingga 50%. Pengaturan pola tanam yang memadukan sifat fisiologis tanaman dalam sistem produksi pertanian dan lingkungan tanaman khususnya intensitas radiasi matahari yang berlimpah, akan memperoleh nilai EKE matahari yang optimal, yang diikuti dengan peningkatan produksi tanaman budidaya. Pemanfaatan energi matahari untuk peningkatan produksi tanaman budidaya akan menjadikan produksi tanaman pertanian efisien, berlanjut (sustainable), aman dan sehat, serta ramah terhadap lingkungan pertanian, jelas Prof. Dr. Ir. Agus Suryanto, saat ini Ia juga menjabat sebagai Wakil I Bidang Akademik UB Kediri.
Sementara itu, Prof. Ir. Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D., IPU, Profesor dalam Bidang Ilmu Rekayasa Sistem Daya dan Kecerdasan Buatan di Fakultas Teknik ini menyampaikan pidato ilmiah pengukuhan Profesor dengan judul “Strategi Percepatan Integrasi Pembangkit Energi Baru dan Terbarukan pada Sistem Tenaga Listrik di Indonesia”.
Pemilihan topik ini didasarkan pada pentingnya implementasi dan pengembangan injeksi dan integrasi pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) ke dalam sistem tenaga listrik yang sudah ada untuk mengurangi penggunaan pembangkit fosil yang telah memberikan dampak lingkungan yang kurang baik.
Dikatakan Prof. Ir. Hadi Suyono, kebutuhan akan energi listrik baik di dunia global dan di Indonesia pada setiap tahunnya mengalami peningkatan seiring peningkatan dan perbaikan ekonomi global. Secara global, konsumsi energi listrik dunia pada tahun 2018 meningkat sekitar 3.5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan kenaikan rata-rata per tahun 3.1% sejak tahun 2000. Peningkatan konsumsi energi listrik juga terjadi di Indonesia.
“Pada akhir tahun 2018 terjadi peningkatan sebesar 5.1% dibandingkan dengan tahun 2017, dengan peningkatan rata-rata per tahun sebesar 6.2% sejak tahun 2000. Namun demikian, sumber energi listrik terbesar masih disuplai oleh pembangkit dengan bahan bakar fosil yaitu batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Penggunaan bahan bakar fosil ini telah memberikan dampak lingkungan dengan adanya pencemaran udara, air, dan dihasilkannya berbagai gas emisi yang menyebabkan gas emisi rumah kaca (global warming),” paparnya.
Untuk mengurangi kelangkaan bahan bakar fosil yang ketersediannya mulai berkurang, dan untuk mengurangi pencemaran lingkungan, maka pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) perlu diimplementasikan dan dikembangkan.
Pembangkit EBT dengan sumber matahari dan angin memberikan emisi CO2 yang paling rendah dibandingkan dengan teknologi pembangkit lainnya. Dengan diimplementasikannya pembangkit listrik berbasis EBT, maka kualitas udara dan lingkungan akan semakin baik.
Ketersediaan teknologi dan pembangkit EBT juga akan memberikan jaminan peningkatan ketersediaan pekerjaan dan manfaat ekonomi lainnya. Dibandingkan dengan teknologi bahan bakar fosil, yang biasanya mekanis dan padat modal, industri energi terbarukan lebih padat karya. Panel surya membutuhkan tenaga kerja untuk instalasinya, wind farm membutuhkan teknisi untuk pemeliharaan. Ini berarti bahwa secara rata-rata, lebih banyak pekerjaan yang dapat diciptakan untuk setiap unit listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan dibandingkan dari bahan bakar fosil.
Menurut pria lahir di Pamekasan, 20 Mei 1973 ini mengatakan, Indonesia dengan kondisi geografisnya mempunyai potensi pembangkit EBT yang sangat besar dan masih belum banyak diekploitasi dan dikembangkan. Karena itu masih perlu banyak usaha dan kesempatan untuk implementasi EBT pada sistem kelistrikan di Indonesia, yang mempunyai banyak keuntungan seperti ramah lingkungan dan ketersedian sumber primernya sangat banyak dan tak terbatas.
“Untuk itu Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih perlu untuk melakukan akselerasi untuk merealisasikan 23% bauran energi pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Karena itu perlu adanya strategi akselerasi implementasi pembangkit EBT untuk mencapai target yang telah dibuat di antaranya dengan: 1) penguatan dan implementasi regulasi yang telah pemerintah buat; 2) pengembangan sistem pembangkit hibrida pada sistem yang yang telah ada yang biasanya menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD); 3) implementasi dan pengembangan injeksi pembangkit EBT pada sistem distribusi (distributed generation) yang secara kapasitas kecil dan dapat secara massif dikembangkan; 4) Meningkatkan integrasi hybrid pembangkit listrik tenaga surya dan angin,” jelas Prof. Ir. Hadi Suyono.
Strategi di atas dapat dilakukan oleh customer siapa yang akan berkontribusi pada pengembangan EBT ini walaupun dengan skala kecil tetapi akan banyak dari segi jumlah, namun tetap perlu memperhatikan aspek keteknikan (reliabilitas dan sekuritas) serta aspek ekonomi.
“Sistem pembangkit EBT lainnya seperti biomassa, energi laut, dan yang lainnya mempunyai karakteristik yang berbeda. Demikian juga dengan implementasi operasi ekonomis dengan unit commitment dan economic dispatch dari pembangkit EBT yang intermittent dan pembangkit termal, dengan beban berubah-ubah perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menggabungkan forecasting EBT dan beban sehingga didapatkan algoritma yang efisien dan robust,” pungkas Prof. Ir. Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D., IPU yang saat ini menjabat sebagai Ketua Jurusan Elektro, FT-UB. ( JKW )