3 September 2025

FH UB Jadi Tuan Rumah BKS Dekan FH PTN Serukan Kebangsaan Sebagai Bentuk Kepedulian Atas Kondisi Negara

img_1756880439225

Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) menjadi tuan rumah pertemuan Badan Kerja Sama (BKS) Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri.(Djoko W)

Rabu, 3 September 2025

Malangpariwara.com
Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) menjadi tuan rumah pertemuan Badan Kerja Sama (BKS) Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri.

Seminar Nasional ini juga menyampaikan seruan kebangsaan BKS FH PTN se-Indonesia, sebagai bentuk kepedulian atas kondisi Negara Republik Indonesia saat ini.

Dekan FH UB, Assoc. Prof. Aan Eko Widiarto menjelaskan bahwa BKSDK Nasional sudah lama merencanakan untuk membahas kurikulum, kerjasama antar Fakultas Hukum, hingga penggunaan AI dalam pembelajaran. Forum itu juga sekaligus menjadi ruang refleksi atas situasi demokrasi saat ini.

“Hukum meskipun jauh teknologi informasi, basisnya karena kita bicara soal norma. Tapi dalam proses pembelajaran, penggunaan hukumnya tidak lepas dari teknologi informasi,” ujar Aan, Rabu (3/9/2025).

Aan menambahkan bahwa salah satu resiko besar adalah ketika AI menghasilkan halusinasi hukum dengan mencantumkan pasal-pasal yang tidak akurat. Karena itu, regulasi yang jelas dalam kurikulum pendidikan hukum menjadi penting agar AI tidak mengikis prinsip humanisme hukum.

“Jika tidak ditata, penggunaan AI bisa membahayakan. Bayangkan jika hakim mengambil keputusan menggunakan AI. Mesin tidak memiliki keadilan, hanya analisa kering. Ini bisa menghilangkan nilai kemanusiaan dalam hukum,” pungkasnya.

Lebih lanjut, terkait maraknya kerusuhan yang terjadi belakangan ini, Aan menilai bahwa aksi tersebut bukan murni berasal dari aspirasi masyarakat. Ia membandingkan dengan aksi yang terjadi di era Joko Widodo, misalnya saat protes RUU KPK dan RUU KUHP. Meski berlangsung ricuh tidak ada aksi penjarahan dan pembakaran.

“Kalau demo murni, maksimal hanya bentrok dengan aparat. Tapi ketika ada pembakaran fasilitas umum, bahkan gedung Grahadi di Surabaya, saya yakin ada pihak lain yang menunggangi,” jelasnya.

Aan juga menyoroti kegagalan empati dari sejumlah elit politik terkait polemik tunjangan dan fasilitas anggota dewan yang memicu keresahan publik. Menurutnya, sikap yang menyepelekan beban rakyat justru memperlebar jurang kepercayaan rakyat terhadap wakilnya.

“Dulu suara rakyat dibeli, sekarang wajar kalau biaya itu ditarik kembali lewat negara. Itu berbahaya, karena tidak semua rakyat bisa dibeli, dan tidak semua anggota dewan bermental demikian,” ucapnya.

Ia juga mengajak semua pihak untuk menahan diri. Masyarakat diminta menjaga aksi tetap dalam koridor hukum, sementara pemerintah dan Presiden diharapkan mampu bercermin serta menunjukkan sikap empati terhadap aspirasi rakyat.

“Kekecewaan publik jangan sampai dijadikan legitimasi untuk tindakan diluar hukum. Jika itu terjadi, yang tumbuh bukan demokrasi, tetapi kembalinya kekuasaan militer dalam ranah sipil. Itu yang harus kita cegah bersama,” pungkasnya. (Djoko W)