Tim Peneliti UB Uji Coba Gerakkan Mesin Dengan Bioetanol

Prof. Dr.rer.nat. Drs. Muhammad Nurhuda (biru muda) dan tim peneliti. (Foto Humas Ub: Sukana.)
Malang, 6 September 2025
Malangpariwara.com – Universitas Brawijaya (UB) kembali mencatat sejarah penting dalam perjalanan riset energi terbarukan di Indonesia. Tim peneliti lintas fakultas UB berhasil melakukan uji coba perdana mesin berbahan bakar bioetanol menggunakan genset.
Uji coba ini berlangsung sederhana di laboratorium kampus, namun hasilnya membawa harapan besar. Untuk pertama kalinya, sebuah mesin genset berhasil menyala dengan stabil hanya menggunakan bioetanol, tanpa campuran bensin sama sekali.
Di balik pencapaian itu, berdiri sosok Prof. Dr.rer.nat. Drs. Muhammad Nurhuda, dosen senior Fakultas MIPA UB, yang menjadi penggerak utama penelitian ini. Bersama timnya yang terdiri dari Prof. Dr. Eng. Eko Siswanto, S.T., M.T. (Teknik Mesin), Dwi Fadila Kurniawan, S.T., M.T (Teknik Elektro), Iswanto, S.T. (Teknik Elektro), serta dua mahasiswa, Abid Fitrah Habibie dan Samuel Muskanan, Prof. Nurhuda membentuk Kelompok Peneliti Mesin Bioetanol yang berfokus pada solusi energi berkelanjutan.
Hening ruangan uji coba pecah ketika mesin genset yang terhubung dengan selang bioetanol mulai berputar. Suara berderu terdengar stabil.
Bagi masyarakat awam, mungkin ini sekadar mesin yang menyala. Namun bagi tim peneliti, ini adalah bukti nyata: mesin bisa berjalan tanpa setetes bensin pun.
Prof. Muhammad Nurhuda, dengan wajah sumringah, menekankan arti penting momen ini.
“Kami sudah membuktikan bahwa mesin bisa bekerja dengan bioetanol murni. Tidak ada bensin sama sekali. Ini bukan hanya eksperimen, tapi langkah awal untuk membangun masa depan energi yang lebih mandiri,” ujarnya tegas.
Ia melanjutkan, uji coba ini hanyalah permulaan.
“Hari ini masih genset, tapi bayangkan kalau teknologi ini berhasil diterapkan pada sepeda motor dan mobil. Kita bisa kurangi ketergantungan pada impor BBM secara signifikan,” tambahnya.
Bioetanol dipilih karena sifatnya yang ramah lingkungan, terbarukan, dan bisa diproduksi secara lokal.
Dengan kadar etanol 85–96%, bahan bakar ini bisa dihasilkan dari fermentasi tetes tebu, jagung, hingga limbah pertanian.
Prof. Nurhuda menjelaskan, keunggulan bioetanol adalah bisa diproduksi di tingkat lokal. Bahkan UMKM bisa ikut memproduksi.
“Jadi energi ini bukan hanya untuk kendaraan, tapi juga menggerakkan roda ekonomi masyarakat,” katanya.
Menurutnya, meski harga etanol saat ini masih lebih tinggi dari bensin, kondisi itu tidak permanen.
“Kalau nanti ada kebijakan nasional yang mendorong produksi massal, harga pasti turun. Brasil sudah membuktikan. Mereka bisa mengganti hampir seluruh kebutuhan bensin dengan etanol berbasis tebu. Kita pun bisa,” paparnya.
Di tengah maraknya tren kendaraan listrik (EV), Prof. Nurhuda menilai bioetanol memberikan alternatif yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
“EV bagus, tapi butuh listrik yang sangat besar. Bayangkan kalau semua kendaraan di Malang pakai listrik, listrik Jawa Timur bisa habis tersedot hanya untuk Malang. Jadi bioetanol ini solusi realistis, karena tidak perlu ganti kendaraan, cukup modifikasi mesin yang ada,” jelasnya.
Dalam tim, Prof. Nurhuda tidak bekerja sendiri. Setiap anggota membawa keahlian masing-masing.
Prof. Dr. Eng. Eko Siswanto, S.T., M.T., ahli Teknik Mesin UB, menyoroti sisi teknis dari proyek ini.
“Kelebihan utama bioetanol adalah mesin lama masih bisa dipakai. Kita hanya modifikasi sedikit di karburator atau injektor. Masyarakat tidak perlu beli kendaraan baru yang mahal. Jadi teknologi ini lebih membumi, lebih ramah kantong,” ujarnya.
Sementara itu, Dwi Fadila Kurniawan menekankan dampak sosial ekonomi dari penelitian ini.
“Bioetanol bisa diproduksi dari sumber daya lokal. Artinya desa-desa bisa mandiri energi. UMKM bisa terlibat langsung. Jadi ada multiplier effect, bukan hanya soal energi tapi juga soal kemandirian ekonomi rakyat,” jelasnya.
Di sisi lain, Iswanto, S.T. dari Teknik Elektro menambahkan perspektif ketahanan energi nasional.
“Kalau etanol bisa diproduksi massal, impor BBM bisa ditekan. Ini bukan hanya hemat devisa, tapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi fluktuasi harga minyak dunia. Ini langkah strategis bagi ketahanan energi bangsa,” tegasnya.
Walau uji coba berhasil, tim mengakui masih ada tantangan yang perlu diselesaikan. Salah satunya adalah efisiensi pembakaran pada etanol 85 persen, yang lebih murah namun lebih sulit dinyalakan di mesin.
Prof. Nurhuda menjelaskan, “Saat ini kami masih pakai etanol 96 persen. Targetnya 85 persen, karena itu lebih murah dan bisa diproduksi di skala UMKM. Tantangannya bagaimana membuat mesin tetap bisa stabil dengan etanol 85 persen. Di sinilah peran riset yang terus kami lakukan.”
Tim juga masih menguji emisi yang dihasilkan. Namun, secara teori, bioetanol jauh lebih bersih.
“Kalau bioetanol, emisinya hanya CO2 dan uap air. Jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan bensin. Inilah yang membuat penelitian ini penting untuk masa depan yang lebih hijau,” tambah Prof. Nurhuda.
Universitas Brawijaya sendiri memiliki program unggulan di bidang Renewable Energy. Penelitian bioetanol ini dinilai sejalan dengan visi UB sebagai kampus riset yang berkontribusi nyata bagi tantangan bangsa.
Prof. Nurhuda menutup dengan pesan optimistis, “Kami ingin membuktikan bahwa riset kampus bisa menghasilkan solusi nyata. Dengan bioetanol, kita bisa mandiri energi, memberdayakan masyarakat, dan menjaga lingkungan. Ini langkah kecil, tapi bisa membawa dampak besar untuk Indonesia.” (Djoko W)