Amnesty International Indonesia: Gas Air Mata Bisa Mematikan

Caption : Usman Hamid,Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.(Yon)
Kamis, 13 Oktober 2022
Malangpariwara.com- Menanggapi pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo dan aksi sujud anggota Polri terkait tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:
“Atas nama keadilan, akuntabilitas atas brutalitas aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan tidak boleh berhenti pada aksi simbolik ataupun sanksi administratif.
“Pernyataan bahwa korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan tidak disebabkan oleh gas air mata itu prematur, tidak empatik, dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung.
“Dalam beberapa pedoman internasional, gas air mata tidak lagi tergolong senjata yang ‘tidak mematikan’ atau non-lethal weapon. Jenis senjata ini sudah dinilai sebagai senjata yang ‘kurang mematikan’ atau less-lethal weapon karena sejumlah pengalaman menunjukkan efek luka yang fatal dan bahkan berakibat kematian.
“Apalagi, jika ditembakkan ke dalam area stadion yang berisi puluhan ribu orang di mana jalan penyelamatan diri terbatas. Kami mendesak agar Tim Gabungan Independen Pencari Fakta agar menelusuri apakah gas air mata yang dipakai polisi merupakan jenis CN (chloracetanophone) atau CS (chlorobenzalmonolonitrile). Efek jenis CS bisa lima kali lipat, jadi memang bisa mematikan.”
“Senjata non-lethal weapon apapun, meskipun tidak didesain untuk membunuh, tetap dapat membunuh jika dilakukan dalam konteks dan cara yang keliru. Setidaknya harus memenuhi empat prinsip, yaitu legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.”
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan:
“Jangankan menembakan gas air mata, membawa saja dilarang FIFA. Jadi melanggar legalitas. Apalagi menembak ke arah tribun. Itu tidak perlu dan tidak proporsional sehingga melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas. Karenanya harus ada akuntabilitas.”
“Sikap pembelaan diri semacam itu mencederai publik yang tengah berduka. Juga ironis karena pernyataan tersebut disampaikan pada hari yang sama ketika polisi di Malang melakukan aksi sujud yang simpatik. Mabes Polri seharusnya lebih serius meminta warga yang menjadi saksi agar tidak takut bersuara. Jamin keselamatan mereka.
“Semua yang terlibat, tanpa terkecuali, harus diproses hukum dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.
“Aparat keamanan, termasuk anggota polisi dan militer, harus menjadi teladan atas bagaimana keadilan dan akuntabilitas hukum ditegakkan secara benar dan adil.”
Malangpariwara mengutip artikel milik, rie Karimah Pharma-Excellent Alumni ITB menjelaskan, kasups di Malang ,Mengapa jumlah korban yang meninggal di Malang begitu tinggi.
“Gas air mata” sebenarnya bukan gas, melainkan SERBUK HALUS bertekanan tinggi yang dikemas dalam kaleng. Zat yang biasa digunakan sebagai “gas air mata”.
Menurutnya dua jenis zat yang terkandung dalam gas air mata ada zat chloro-benzal-malono-nitrile (CS) dan Chloroacetophenone (CN).
” Jenis ini yang digunakan disini, bukan CS atau CR, tetapi Dibenz-oxazepine (CR).
Ketika kaleng ditembakkan dengan alat khusus, serbuk halus tersebut akan keluar dari kaleng kemasannya dan menyebar/menggantung di udara dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Serbuk ini AKAN MENCARI KANDUNGAN AIR yang terdapat di kulit, tenggorokan saluran pernafasan atau mata kita. Tanpa kita sadari serbuk tersebut akan segera menempel di kulit, terhirup atau mengenai mata.

Efek gas air mata setelah mengikat air dari tubuh kita:Di kulit: rasa terbakar, Di mata: rasa perih, keluar air mata, Di saluran pencernaan: rasa terbakar yang parah di tenggorokan, keluar dahak dari tenggorokan, muntah, Di saluran pernafasan: hidung berair, batuk, rasa tercekik.
Jika serbuk tersebut masuk hingga ke paru-paru: menyebabkan nafas pendek-pendek, sesak nafas, rasa seperti terbakar di paru-paru.
Gas air mata sebenarnya diciptakan bagi petugas keamanan untuk mengatasi KERUSUHAN (Riot Situation), sebagai alternatif dari pentungan, peluru karet dan senjata mematikan dalam pengendalian massa yang SUDAH MENAMPAKKAN kerusuhan.
Jadi penggunaan gas air mata di stadion Malang itu menyalahi aturan FIFA yang melarang penggunaannya di dalam stadion (ruang tertutup). Juga kalau saya lihat videonya: gas air mata itu ditembakkan bukan karena ada kerusuhan. Melainkan karena gas itu ditembakkan sebagiannya ke tribun, maka penonton yang panik mulai rusuh, sementara mata mereka mulai perih dan saluran pernafasannya mulai tercekik.
Belasan ambulance yang membawa korban ke rumah sakit terdekat, sekitar 4 kilometer, menurut saya juga dalam posisi sulit.
Kondisinya diperparah dengan situasinya malam hari sehingga jumlah petugas di IGD mungkin tidak sebanyak siang hari.
Karena ini bukan kasus demonstrasi maka rumah sakit juga saya yakin tidak melakukan antisipasi, misalnya menambah persediaan tabung oksigen.
“Saya tidak tahu apakah di Malang sering terjadi demo sehingga para petugas disana sudah trampil menangani korban dalam jumlah banyak sekaligus, ” tegasnya.
Keterlambatan evakuasi karena sulitnya korban keluar atau dikeluarkan dari stadion, serta kurangnya persediaan tabung oksigen untuk menangani ratusan korban sekaligus saya kira yang menjadi penyebab utama tingginya angka kematian.
“Oksigen berfungsi membantu “membilas” dan “mengencerkan” kadar serbuk CN di dalam paru-paru. Bisa dibayangkan tanpa bantuan oksigen maka serbuk ini akan mengikat komponen air di paru-paru, dan korban akan merasakan paru-parunya seperti terbakar. Ini yang menyebabkan kematian mereka,” tandasnya.(Yon/Djok)