Malangpariwara.com – Upaya memperkuat posisi Indonesia dalam industri wisata medis kembali digencarkan oleh Ketua Malang Health Tourism Board (MHTB), Ardantya Syahreza, bersama Ketua Medan Medical Tourism Board (MMTB), Dr. Destanul Aulia.
Bersama tim Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), mereka melakukan kunjungan strategis ke RS Columbia Asia Medan, Kamis (20/11/2025).
Kunjungan ini bertujuan untuk melakukan monitoring, evaluasi, serta pertukaran wawasan.
Dalam dialog bersama manajemen rumah sakit, muncul dua isu besar yang dinilai menjadi hambatan utama perkembangan wisata medis nasional.
Diantaranya yakni kebijakan fiskal terhadap alat kesehatan dan faktor sosial-budaya masyarakat yang masih memandang luar negeri sebagai pilihan prestisius.
Isu Pajak Barang Mewah pada Alat Medis
Ardantya Syahreza menyoroti perbedaan signifikan harga layanan kesehatan di Indonesia dengan negara tetangga.
Salah satu penyebabnya adalah pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk alat kesehatan berteknologi tinggi.
“Kita mendapatkan banyak masukan dari lapangan bahwa harga layanan wisata medis di negeri jiran bisa jauh lebih murah karena insentif pemerintah mereka. Di sana, alat medis canggih tidak dikenakan pajak barang mewah,” ujar Ardantya.
“Sementara di Indonesia, beban pajak ini membuat biaya investasi rumah sakit membengkak. Yang akhirnya berimbas pada biaya layanan yang harus ditanggung pasien,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa relaksasi pajak menjadi langkah penting agar rumah sakit dalam negeri mampu bersaing secara harga tanpa mengurangi kualitas.

Tantangan “Gengsi” Berobat ke Luar Negeri
Selain soal regulasi, tim juga menemukan aspek budaya yang memengaruhi pilihan masyarakat dalam berobat.
Dr. Destanul Aulia dan Ardantya mencatat adanya tren bahwa sebagian warga Medan dan sekitarnya memandang berobat ke luar negeri telah menjadi simbol status sosial (social prestige) tertentu.
“Ada insight yang sangat menarik bahwa bagi sebagian warga, berobat ke luar negeri adalah soal gengsi. Terlepas dari kondisi finansial mereka. Bahkan ada fenomena di mana keluarga rela meminjam dana hanya demi mendapatkan ‘status’ telah berobat ke luar negeri,” ungkapnya.
“Ini adalah tantangan besar bagi kita. Bagaimana membangun image bahwa berobat di negeri sendiri juga memiliki gengsi dan kualitas yang sama, bahkan lebih baik,” tambah Ardantya.
RS Columbia Asia Medan sebagai Model Percontohan
Meski tantangan masih ada, Ardantya mengapresiasi langkah RS Columbia Asia Medan yang dinilai telah mempersiapkan diri menjadi rumah sakit dengan daya saing tinggi.
“RS Columbia Asia Medan memiliki sarana prasarana yang luar biasa, dikelola dengan hospitality layaknya hotel berbintang. Dari lobby yang mewah, sistem informasi digital, hingga fasilitas medis lengkap seperti Urology Center, Sport Clinic, hingga MRI dan CT Scan mutakhir,” katanya.
“Kafe sehat dan Doctor’s Lounge-nya pun sangat nyaman. Ini adalah modal kuat untuk menarik kepercayaan masyarakat dan menahan devisa agar tidak lari ke luar negeri,” tutupnya.
Melalui kolaborasi antara MHTB, MMTB, dan Kemenkes RI, diharapkan masukan-masukan ini dapat menjadi landasan perbaikan kebijakan di masa depan.
Yang nantinya juga demi mewujudkan kedaulatan kesehatan Indonesia. (Djoko W)






