Refleksi Kemerdekaan di Era Pandemi Dimata Ketua PSP2M UB
Senin, 16 Agustus 2021
Malangpariwara.com – Mohamad Anas, Dosen Pancasila dan Filsafat, sekaligus Ketua PSP2M UB merefleksi kemerdekaan di era Pandemi.
Dikatakan Anas, tujuh belas Agustus 2021, tepatnya hari Selasa (17/08/21) besok menjadi hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Cita-cita kemerdekaan yang diimpikan oleh segenap pendiri bangsa dan seluruh warga negara Indonesia hingga detik ini akan manapaki ulang tahun kemerdekaannya yang ke-76 tahun.
“Dalam usia yang cukup matang tersebut bukan berarti bangsa ini telah mampu keluar dari kolonialisme klasik, atau mungkin kolonialisme baru. Akankah kita mampu melampaui kolonial atau menjadi poskolonial,” seru Anas.
Peristiwa kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 bangsa ini harus terus menjadi ingatan kolektif segenap warga agar spirit kemerdekaan dapat terus menjadi garis konstitusi yang dijadikan pegangan bersama.
Ingatan kolektif berfungsi efektif untuk menumbuhkan kesadaran dan kebaharuan kesadaran yang terus direproduksi dari masa ke masa sehingga transmisi pengetahun itu dapat efektif berjalan bahkan memungkinkan untuk disesuaikan dengan kondisi aktual.
Memori kolektif tentang perjuangan yang berat di masa lalu dapat berperan untuk menggugah kesadaran akan perjuangan bersama melawan pandemi Covid 19.
Kita bersyukur peran serta masyarakat –di samping pemerintah– yang demikian tinggi kiranya menjadi modal sosial yang baik untuk terus dipertahankan.
Kemerdekaan pada dasarnya berdimensi dua, yakni kemerdekaan dari dominasi penjajah dan kemerdekaan untuk mencapai tujuan utama (ideal moral) didirikannya negara ini.
Hal demikian tertuang secara normatif dalam Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Sangat tegas dan lugas, demikian kalimat pembuka (muqaddimah) yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kalimat tersebut mengandaikan beberapa poin mendasar.
Pertama, sejak mula kolonialisme merupakan ‘makhluk’ yang mempunyai pandangan ‘diskriminatif’ terhadap orang di luar dirinya.
Kedua, atas dasar tersebut diperlukan suatu anti-tesa berupa kemanusiaan yang anti diskriminatif, yakni kemanusiaan yang menjunjung tinggi atau menghormati kemanusiaan secara adil dan beradab.
Ketiga, dalam kaitannya dengan hubungan antar bangsa, posisi Indonesia jelas dan terukur.
Kerjasama antar bangsa mutlak diperlukan dengan syarat yang menjadi basis utama adalah kamanusiaan itu sendiri.
Merdeka dari persoalan diskrimatif, misalnya perlakuan pembedaan berdasarkan agama dan keyakinan, diskriminasi atas minoritas, pembedaan berdasarkan gender, pembedaan berdasarkan status sosial dan seterusnya juga menjadi hal yang layak untuk terus diperjuangan.
Bukan karena membenarkan bahwa sejarah manusia adalah sejarah penindasan tetapi perjuangan untuk keluar dari dominasi, hegemoni atau penindasan adalah spirit utama dari kemerdekaan Indonesia. Realitas dikriminatif terjadi dalam skala relasi antar sosial, budaya, agama, atau bahkan dalam kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah.
Hal ini menandakan bahwa kerja-kerja kemanusiaan yang sederajat manjadi tugas yang masih harus dilanjutkan sebagaimana yang telah menjadi konsesus kita bersama, yakni menjadi bangsa bermartabat.
Kemerdekaan dari cara pikir paham khilafah, terorisme dan bahkan radikalisme juga menjadi tantangan yang harus terus menerus diperjuangkan. Paham yang tidak mengakui negara-bangsa (nation-state) ini jelas menghancurkan sendi-sendi kenegaraan yang telah susah payah dibangun oleh para pendiri bangsa.
Selain bertentangan dengan konsep nation-state, paham tersebut secara aksiologis mustahil untuk diterapkan di era sekarang karena setelah negara-negara dunia Timur dikuasai oleh Kolonial, negara-negara jajahan tersebut berusaha secara mandiri untuk memerdekakan bangsanya.
Setelah mencapai kemerdekaannya, bagaimana mungkin tiba-tiba muncul narasi penyatuan bangsa dalam satu sistem kenegaraan? Pasca melemahnya narasi negara khilafah, lalu muncul narasi NKRI ber-syariah. Alih-alih mengkritik pemerintah yang dinilai melenceng dari Pancasila berujung pada upaya pengembalian Piagam Jakarta yang dianggap dasar negara yang sah. Belum lagi meningkatnya tindakan intoleran juga masih cukup besar berdasarkan beberapa survey yang dilakukan misalnya Setara Institure, atau Wahid Foundation.
Kemerdekaan yang diarahkan untuk mampu mencapai status kebangsaan yang berdaulat, berkeadilan dan mampu mencapai kemakmuran bagi warganya juga menjadi bagian dari dimensi kemerdekaan yang tak kalah penting.
Barangkali masih muncul pertanyaan, kenapa bangsa ini belum mencapai tataran ideal yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa ini? Jawaban mengenai problem ini mungkin sangat beragam.
Jawaban mengenai persoalan ini bisa muncul dari perspektif budaya, agama, ekonomi, politik dan seterusnya. Bahkan, akhir-akhir ini juga muncul juga pertanyaan bagaimana agar bangsa ini segera merdeka dari Covid 19.
Kenyataannya, Covid 19 varian Delta dalam satu bulan terakhir yang sangat ganas ini seperti makhluk pembunuh paling ganas di awal abad 21 ini. Berita tentang kematian hampir setiap hari beredar di group-group WhatsApp, Instagram, atau lainnya. Kita semua tercengang, Covid 19 seakan menjadi makhluk pembunuh yang tidak mengenal status sosial, agama, suku, etnis serta segala macam atribut yang mungkin selama ini disematkan pada manusia. Ia tidak pandang bulu, menyerang keluarga, ayah, ibu, anak, saudara kita atau bahkan diri kita sendiri.
Perjuangan untuk merdeka dari Covid 19 terasa aktual sekarang ini karena sebagaimana kita tahu virus ini telah membunuh ribuan manusia, mengakibatkan perekonomian mengalami kelesuan dan kemerosotan, pendidikan mengalami kemunduran, banyak pekerja yang diberhentikan dan berbagai persoalan lainnya.
Kemerdekaan dari Covid 19 dapat mungkin diusahakan dengan vaksinasi massal hingga terbentuk kekebalan komunitas, di samping kepatuhan kita terhadap prokes (protokal kesehatan). Secara hakiki, perjuangan untuk merdeka dari Covid 19 adalah justru dalam kerangka memelihara kemanusiaan, agar manusia terhindar dari serangan Covid 19 yang mematikan itu.
Alhasil, kemerdekaan bukan hanya berkaitan dengan kolonial, tidak hanya dengan neo kolonialisme semata, bahkan kemerdekaan bukan hanya soal kemapanan ekonomi, kebebasan berpendapat, ataupun entitas lainnya. Tetapi kemerdekaan adalah hal melekat dari eksistensi manusia itu sendiri, kemerdekaan adalah hal esensial dari keberadaan manusia dalam memperjuangkan, mengorbankan, dan membebaskan diri dari segala bentuk dominasi. Dan yang lebih sublim lagi dari itu semua adalah bahwa kemerdekaan adalah perjuangan memanusia manusia itu sendiri.(JKW)