Amnesty Internasional Soroti Agenda-agenda reformasi yang terabaikan

Caption : Direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.( Yon )

Senin, 22 Mei 2023

Malangpariwara.com
Represi kebebasan berpendapat dan berekspresi menunjukkan tantangan lain terkait agenda reformasi.

Dalam laporan “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”, selama periode Januari 2019 hingga Mei 2022 setidaknya 31 anggota kepolisian dan tujuh personel militer terlibat dalam dugaan kasus serangan terhadap jurnalis dan media.

Sedangkan di periode yang sama, anggota kepolisian – setidaknya 204 personel, termasuk polisi virtual – mendominasi jumlah terduga pelaku dalam kriminalisasi menggunakan UU ITE.

Akuntabilitas aparat keamanan negara juga patut disoroti. Dari 14 kasus pembunuhan di luar hukum di Tanah Papua, lima di antaranya diduga melibatkan terduga pelaku dari anggota Polri/TNI. Per akhir 2022, belum ada satu kasus yang melibatkan aparat negara ini diproses di pengadilan umum.

Sementara untuk pembunuhan di luar hukum yang berada di luar Tanah Papua, dari setidaknya 30 kasus yang tercatat sepanjang 2022, mayoritas terduga pelakunya (27 kasus) berasal dari anggota kepolisian. Sayangnya, per akhir 2022, dari 27 kasus tersebut baru empat yang diproses hukum.

“Kita semua menunggu keseriusan negara untuk urusan akuntabilitas aparat keamanan. Jangan terus melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan aparat negara atas nama apa pun. Itu akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang demokratis,” lanjut direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid

Agenda lain yang masih terabaikan adalah penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi Mei 98 yang mencakup kerusuhan, penjarahan dan kekerasan seksual atas perempuan Tionghoa. Ada langkah baik dari Presiden Jokowi di awal tahun 2023, namun ini tidak cukup.

“Pengakuan negara Januari lalu dan upaya penyelesaian non-yudisial atas 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu seharusnya tidak melupakan penegakan hukum dan keadilan, termasuk suara korban yang menuntut penghukuman pelaku, penghormatan martabat mereka sebagai manusia, dan mendesak adanya klarifikasi sejarah yang lebih jujur. Ini agar ke depan terbangun moralitas kolektif yang menghormati hak asasi manusia,” sebut Usman.

“Negara, jika memang berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM, seperti janji Presiden Jokowi, seharusnya melakukan upaya pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku serta pelurusan sejarah. Ini juga termasuk mencegah pengerasan pendekatan keamanan melalui undang-undang seperti revisi KUHP baru-baru ini.”(Yon)

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *