Malangpariwara.com – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kembali menegaskan posisinya sebagai kampus penggerak peradaban.
Melalui riset mendalam, gagasan visioner, dan komitmen panjang terhadap kemajuan bangsa, UMM kembali mengukuhkan tiga guru besar baru pada 26 November 2025.
Kepakaran yang dimiliki juga menarik, mulai dari ilmu pendidikan islam, ekologi dan keberlanjutan industri, hingga keperawatan komunitas.
Mereka adalah Prof. Dr. Khozin, M.Si., Prof. Dr. Ir Ahmad Mubin, S.T., M.T., serta Prof. Dr. Yoyok Bekti Prasetyo, M. Kep., Sp.Kom.
Sesi orasi ilmiah Prof. Dr. Ir Ahmad Mubin, S.T., M.T.

Orasi ilmiah pertama diawali oleh Mubin yang menguraikan bahwa industri modern harus bergerak melampaui orientasi profit semata. Industri harus mengadopsi prinsip triple bottom line yang menekankan keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Ia menegaskan bahwa ekologi industri adalah kerangka penting untuk menjawab tantangan global, terutama melalui penerapan circular economy, efisiensi sumber daya, dan pengembangan proses produksi ramah lingkungan.
Menurutnya, keberlanjutan tidak dapat dicapai tanpa instrumen evaluasi yang kredibel. Oleh sebab itu, penggunaan Sustainability Balanced Scorecard, standar Global Reporting Initiative (GRI), metode pembobotan AHP, hingga OMAX sebagai perangkat analitis untuk memantau dampak keberlanjutan secara akurat harus ada.
Pendekatan ini memungkinkan perusahaan menilai efektivitas strategi lingkungan dan sosial secara terukur.
Mubin juga menyampaikan beberapa rekomendasi kebijakan. Termasuk penguatan regulasi industri hijau, pemberian insentif inovasi ramah lingkungan, pengembangan eco-industrial parks, serta peningkatan kapasitas SDM berorientasi teknologi bersih.
“Dengan perencanaan strategis, implementasi teknologi bersih, kolaborasi antar industri (simbiosis industri) dan dukungan kebijakan yang tepat, industri dapat berperan sebagai motor penggerak ekonomi yang ramah lingkungan. Selain itu juga bisa membantu meningkatkan kesejahteraan sosial dan memiliki daya saing global,” katanya.
Sesi orasi ilmiah oleh Prof. Dr. Khozin, M.Si.

Di sisi lain, Khozin yang menyoroti pentingnya perumusan nilai dasar sebagai pondasi ekosistem sekolah di tengah pesatnya perkembangan pendidikan Islam.
Menurutnya, banyak lembaga pendidikan tumbuh tanpa kerangka nilai yang jelas sehingga budayanya rapuh. Ia menegaskan tiga nilai fundamental utama yakni ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sebagai inti pembentukan karakter peserta didik.
Nilai-nilai ini kemudian melahirkan nilai inti seperti amanah, empati, solidaritas, dan inovasi. Kemudian diterjemahkan secara konkret melalui budaya sekolah seperti 5S, disiplin, kolaborasi, dan perbaikan berkelanjutan.
Menurutnya, tiga nilai dasar yakni ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan merupakan pondasi dalam menyusun nilai-nilai inti (core values), nilai-nilai instrumental, dan akhirnya mewujud menjadi ekosistem sekolah.
Khozin menekankan, pendidikan Islam harus kembali pada misi utamanya yaitu membentuk manusia merdeka dan berperadaban. Bukan sekadar menyampaikan pengetahuan.
“Sekolah dengan ekosistem dan budaya yang baik tentu akan melahirkan lulusan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik, hidup bahagia di bawah lindungan syariat Islam, serta berkontribusi untuk kemanusiaan. Kalau ingin ekosistem dan budaya sekolah lebih kuat dan kokoh, serta adapti” terhadap gempuran perubahan, maka ekosistem dan budaya itu mestinya berdiri di atas pondasi dasar (fundamental values) dan nilai-nilai utama (core values) yang kuat,” katanya.
Sesi orasi ilmiah Prof. Dr. Yoyok Bekti Prasetyo, M. Kep., Sp.Kom.

Terakhir, Yoyok menjelaskan bahwa stunting bukan hanya krisis persoalan gizi, tapi juga krisis kemanusiaan. Ia menyebut stunting sebagai bentuk ‘kemiskinan biologis’ yang menghambat kecerdasan, kesehatan, dan produktivitas generasi muda.
Meski angka stunting nasional telah turun menjadi 19,8% di 2024, ancaman tetap besar. Terutama di wilayah seperti Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) yang pernah mencatat prevalensi lebih dari 42–50%.
Ia memaparkan berbagai program UMM sebagai Impactful University yang hadir secara langsung di masyarakat NTT. Mulai dari penguatan parenting self-efficacy, Gerakan Ibu Tangguh, edukasi pola asuh, hingga intervensi infrastruktur melalui pembangunan sumur bor 71 meter di Desa Nusa.
Mengakhiri kalimatnya, Yoyok menyampaikan pentingnya kehadiran ‘profesor penggerak’. Para akademisi yang tidak hanya aktif menerbitkan riset, tetapi juga hadir nyata di tengah masyarakat.
“Kita tidak akan membangun Indonesia Emas 2045 hanya dengan bangunan tinggi dan ekonomi kuat, tetapi dengan anak-anak yang sehat, keluarga yang percaya diri, dan masyarakat yang saling menguatkan,” tegasnya. (Djoko W)






