Dosen UMM Teliti Penyebab Rendahnya Minat Masyarakat Gunakan PLTS
Selasa, 26 Maret 2024
Malangpariwara.com – Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki sumberdaya alam berupa sinar matahari yang tak terbatas. Sayangnya, energi terbarukan satu ini masih belum banyak dimanfaatkan sebagai pilihan ketersediaan listrik masyarakat.
Khusnul Hidayat, S.T., M.T. dosen Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan bahwa ada beberapa faktor mengapa Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) belum banyak digunakan, baik di skala rumahan maupun industri.
“Alasan pertama yaitu dari segi biaya, utamanya baterai hang menjadi tempat penyimpanan energi. Harga baterai cukup mahal dan lifetime-nya juga pendek,” ujarnya.
Meski ini merupakan kendala utama, Khusnul menyampaikan bahwa hal ini dapat disiasati. Ia menuturkan, dulu pernah ada kebijakan KWH ekspor-impor atau regulasi penjualan energi dari rumah atau industri yang menggunakan panel surya kepada pihak PLN.
“Sayangnya kebijakan tersebut kini dihapus karena dari sudut pandang konsumen, hal itu sangat menguntungkan karena tidak perlu membeli baterai. Namun jika dilihat dari pihak PLN, maka hal itu merugikan.
Beberapa hal diantaranya karena PLN mempunyai pembangkit yang jumlahnya banyak. Saat ini PLN juga sudah surplus listrik artinya mempunyai lebih dari cukup energi listrik untuk menyuplai kebutuhan di masyarakat. Maka mengapa harus membayar energi jika listrik sudah terpenuhi,” jelasnya.
Selain itu, jika banyak PLTS yang menjual energi kepada PLN, maka tentu akan menambah pekerjaan PLN untuk menyeimbangkan. Ini karena harus menyeimbangkan antara energi yang dibangkitkan dan energi yang dikonsumsi agar tetap aman. Selain itu juga agar tidak menyebabkan kerusakan pada komponen.
Meski demikian, untuk daerah-daerah terpencil yang masih sulit dijangkau oleh PLN, biaya pemasangan PLTS lebih terjangkau dibandingkan dengan memasang instalasi listrik yang membutuhkan biaya lebih besar pada penarikan kabelnya.
“Manfaat PLTS banyak, mulai penggunaanya yang tidak mengganggu lingkungan sampai dengan tegangan yang dihasilkan panel surya yang tidak berbahaya. Ini karena jika menggunakan panel surya dan menggunakan sistem DC house, maka tegangan yang dihasilkan dari arus DC (Direct Current) kurang dari 100 Volt,” jelasnya.
Sedangkan tegangan yang dihasilkan dari PLN adalah 220 V dimana sangat berbahaya jika berkontak langsung dengan manusia. Bahkah bisa menyebabkan kematian.
Meski begitu, Khusnul memaparkan bahwa panel surya sendiri sudah mulai berkembang sejak 2013 lalu, harga instalasi juga sudah mulai menurun jika dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Banyak industri maupun perumahan yang sudah mulai menginstal panel surya saat ini. Adapun sistem atau komponen umum yang ada pada panel surya adalah fotovoltaik (photovoltaic/panel surya), solar inverter yang merubah dari hasil panel surya tegangan DC menjadi AC (Alternating Current) dan baterai sebagai storage atau penyimpanan.
“Ke depan, hrapannya pemerintah lebih bijak dalam meningkatkan kontrak pembangkit listrik yang terbarukan demi menjaga lingkungan. Sebaliknya, untuk pembangkit listrik energi tak terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari batu bara dan fosil, hendaknya bisa dikurangi agar PLTS bisa lebih berkembang. Selain itu, semoga akan ada kolaborasi penelitian dan pengabdian masyarakat untuk meningkatkan kajian terkait baterai storage,” tutupnya. (Djoko W)